Tuesday, December 23, 2008

Kebijakan pengembangan sains dan teknologi (1)

Pagi ini, David Gergen, seorang analis politik CNN menulis sebuah kolom yang sangat menarik: "Obama’s Science Team: Reshaping Our Long-Term Future". Gergen pernah menjadi staff pemerintahan Nixon, Ford, Reagan, dan kemudian menjadi penasehat Clinton. Saat ini, Gergen adalah seorang profesor di JFK School of Government, Harvard University.

Selama delapan tahun pemerintahan George W. Bush, sains dan teknologi telah dikebiri perkembangannya karena cara pandang pemerintah Bush yang konservatif yang dilatar belakangi faktor agama; Bush mengklaim dirinya seorang kristen evangelis. Evangelis selama ini memang menjadi basis utama pemilih Partai Republik. Bersama gereja dan kelompok lainnya yang menganut paham konservatif, tersebar sepanjang daerah yang dikenal sebagai "the Bible belt", mereka membentuk ideologi konservatif Amerika. Mereka sering mengklaim dirinya lebih kristen dari penganut kristen lainnya. Salah satu dampak dari ideologi mereka adalah penolakan fakta ilmiah jika bertentangan dengan pemahaman mereka terhadap Bible.

Bush dikenal menolak bukti ilmiah bahwa manusia berperan secara negative dalam kasus pemanasan global, dan pernah mengatakan "saya tidak percaya sains". Ketidakpercayaannya terhadap sains menjadi keluhan banyak peneliti di Amerika Serikat (AS) karena berdampak terhadap kebijakan pemerintah terhadap pengembangan sains nasional. Selama delapan tahun terakhir, pemerintah tidak menambah dana penelitian melalui NSF (National Science Foundation, semacam Dewan Riset Nasional). Banyak penelitian berorientasi masa depan juga tidak diperhatikan, termasuk misalnya dalam bidang stem cell. Meskipun pada akhirnya Bush mengakui manusia ikut bertanggung jawab dalam pemanasan global, tidak ada upaya nyata secara nasional yang menunjukkan keseriusannya mengurangi dampak aktivitas manusia terhadap iklim global. Mereka membatalkan keikutsertaan AS dalam Konvensi Kyoto dan tidak mendukung Konvensi Bali secara penuh. Gubernur Arnold Schwazernagger, seorang Republik, malah lebih berinisiatip untuk berperan dengan menerapkan undang-undang lokal yang bertolak belakang dengan aturan pemerintah federal. Secara umum, peneliti di lingkungan universitas dan lembaga penelitian milik negara mengeluh dengan pendekatan Bush terhadap sains.

Gubernur Alaska, Sarah Palin, berpijak pada cara pandang yang mirip dengan Bush. Ia sering dikatakan, misalnya, menolak teori evolusi dan berkeyakinan bahwa bumi diciptakan 5.000 tahun yang lalu, mengikuti penafsiran Genesis dalam Bible. Itu sebabnya banyak kalangan ilmuwan menaruh harapan pada Barack Obama. Dan sebagaimana janjinya selama kampanye, Obama benar-benar menyiapkan tim kepresidenan yang siap mengembalikan AS sebagai pemimpin dalam perkembangan sains dan teknologi.

Tentu saja, ilmu bukanlah sekedar untuk ilmu semata dan menjadi alat agar suatu negara terpandang karenanya. Yang diharapkan dari ilmu adalah terciptanya kehidupan yang lebih baik, beradab, bermartabat, dan berketuhanan. Seorang ilmuwan AS mengatakan bahwa menerima teori evolusi sebagai fakta tidak berarti menolak keberadaan tuhan.

****

Yang menarik bagi saya adalah bahwa di negara yang maju tapi sekaligus deregulatif sekalipun (AS dan Eropa, misalnya), pemerintah tetap menjadi motor penggerak pengembangan ilmu dan teknologi. Aktifitas penelitian yang selalu mengandung aspek biaya dan resiko yang tinggi tidak akan tumbuh sendiri dalam masyarakat tanpa dorongan aktif pemerintah. Keseriusan pemerintah diperlihatkan dengan penentuan kebijakan dan prioritas penelitian, yang dilakukan oleh pakar yang kompeten yang dipilih oleh presiden, dan langkah-langkah legislatif (di AS, senat memiliki komisi khusus bidang perdagangan, sains, dan perhubungan). Operasional pengembangan sains dan teknologi kemudian dilakukan oleh lembaga penelitian dan universitas, yang didukung oleh dana yang sangat besar dari pemerintah. Pemerintah tidak bisa bersikap "pasif" terhadap sains dan teknologi, dan membiarkan rakyatnya mengambil inisiatif tanpa dukungan nyata (bukan sekedar moral) dari pemerintah. Tanpa dukungan pemerintah, ilmuwan di AS telah merasakan bagaimana ilmu akhirnya tidak berkembang dan termanfaatkan sebagaimana mestinya dalam 8 tahun terakhir ini. Obama berkomitmen bahwa pengembangan sains dan teknologi akan menjadi bagian dari solusi mengatasi krisis finansial dan resesi.

Bagaimana dengan Indonesia?


Pemerintah Indonesia memang tidak berpandangan seperti Bush yang tidak percaya "scientific fact". Tapi, dalam pengamatan saya, pemerintah selama ini masih menganggap penelitian sebagai sebuah prioritas rendah. Meskipun ada kecenderungan "mendukung penelitian dalam negeri", dalam eksekusinya tidak terlihat peran yang serius dari pemerintah. 

Pertama, sampai RAPBN 2008, alokasi anggaran untuk penelitian masih minim. Baru pada tahun 2009, seiring dengan peningkatan anggaran pendidikan, anggaran penelitian akan meningkat secara signifikan menjadi sekitar Rp. 2,3 trilyun.

Kedua, penelitian bukan sekedar masalah anggaran, tetapi juga bagaimana pemerintah menempatkan penelitian dalam kerangka kebijakan nasional. Penelitian misalnya tidak boleh lagi dianaktirikan. Anggaran penelitian tahun 2009 hanyalah 0.23% dari Rp. 1000 trilyun RAPBN 2009. Jangan sampai pemerintah mengulang kebijakan masa lalu, dengan menjadikan anggaran penelitian bagian dari pengeluaran yang bisa dihemat di saat krisis. Dampak penghentian dana penelitian saat itu sangat dramatis. Banyak penelitian yang tengah berjalan menjadi terhenti. Banyak laboratorium yang selama itu aktif karena dana riset pemerintah pun akhirnya tutup. Tidak sedikit juga peneliti Indonesia yang akhirnya terpaksa berkarir di luar negeri. Padahal persentase dana penelitian dalam anggaran negara saat itu sangat kecil sekali (0.05%).

Ketiga, pemerintah juga harus memiliki cetak biru penelitian Indonesia untuk jangka waktu yang panjang, misalnya 5-10 tahun, yang bukan ditentukan oleh politikus semata tetapi oleh pelaku-pelaku penelitian di Indonesia. Cetak biru tersebut menyangkut bagaimana uang sebesar Rp. 2,3 trilyun/tahun tersebut akan dihabiskan secara efisien dan efektif.

Cetak biru tersebut harus menjelaskan dan merinci bidang-bidang penelitian yang menjadi prioritas utama dan/atau sekunder, yang ditentukan bukan semata karena melihat perkembangan di luar negeri, tetapi juga dengan mengukur kemampuan dan kebutuhan dalam negeri. Selain itu, cetak biru tersebut juga harus menjelaskan sasaran-sasaran hasil penelitian. Adalah keliru jika hasil penelitian hanyalah selalu berupa produk aplikatif (tangible), seperti mobil, padi tahan wereng, dll. Hasil penelitian juga harus mencakup produk yang intangible tapi strategis, seperti pengembangan ilmu-ilmu dasar (sains) yang menunjang pengembangan ilmu-ilmu terapan (yang diukur dengan publikasi tulisan ilmiah berskala internasional), regenerasi ilmuwan (yang diukur dengan peningkatan lulusan S2 dan S3 dalam negeri-bukan luar negeri-yang berkualitas peneliti), dan penguatan jaringan ilmiah yang tersebar merata di dalam negeri.

Jika 250 juta penduduk Indonesia dianggap sebagai modal dasar pembangunan, pengembangan, pemanfaatan, serta penghargaan atas daya pikir, cipta dan kreasi setiap insan akan membuat modal dasar tersebut dapat lebih terkapitalisasi.

Wednesday, December 10, 2008

Makanan pokok selain beras?

Pada tahun 1985-1987, di masa Presiden Seoharto, Indonesia pernah mengalami masa swasembada beras. Karena keberhasilan tersebut, Indonesia melalui Presiden Soeharto menerima penghargaan dari FAO, organisasi pangan dan pertanian PBB. Keberhasilan tersebut sayangnya tidak bisa dipertahankan pada tahun 1988. Sejak tahun itu pula, Indonesia kembali mengimpor beras untuk menutupi kekurangan produksi beras dalam negeri. Secara umum, sejak tahun 1983, produksi beras dalam negeri menunjukkan tren yang positif, kecuali, misalnya, di saat krisis ekonomi. Tahun 2007, produksi beras dalam negeri mencapai 36 juta ton gabah kering giling (GKG), naik sekitar 40% dibandingkan produksi saat pertama kali swasembada tahun 1985. Indonesia sendiri secara global adalah negara penghasil beras ketiga terbesar di dunia. Namun dengan jumlah penduduk mencapai 234 juta di tahun 2008 (naik 40% dibandingkan jumlah penduduk tahun 1985), produksi beras dalam negeri tetap rawan. Tahun 2007, impor beras untuk memperkuat cadangan nasional mencapai 500 ribu ton.

Sebenarnya, bukan cuma soal beras Indonesia termasuk didalam ``negara penghasil utama pangan''. Merujuk pada data FAO tahun 2005, Indonesia merupakan penghasil singkong ketiga terbesar di dunia (19,4 juta ton), ubi jalar (sweet potato) keempat di dunia (1,8 juta ton) dan jagung ke delapan di dunia (12 juta ton). Seperti halnya beras, singkong, ubi jalar dan jagung juga memiliki potensi sebagai makanan pokok. Sejarahnya, di beberapa daerah di Indonesia, ubi jalar dan jagung pernah menjadi makanan pokok. Dulu, jagung, misalnya, adalah makanan pokok penduduk Madura dan sebagian penduduk Nusa Tenggara. Sayangnya, sejak pemasyarakatan beras sebagai makanan pokok nasional, jagung, ubi jalar dan singkong seolah terlupakan. Ketiganya sekarang hanya dianggap makanan sampingan dalam bentuk kue, pengganan, atau teman nasi. Bahkan oleh sebagian kalangan, ketiganya dijadikan tanda kemiskinan atau rawan pangan jika mulai digunakan sebagai makanan pokok.

Saat ini 60% beras nasional dihasilkan di Pulau Jawa. Pulau ini memang sejak dahulu kala dikenal sebagai pulau beras (Jawa = beras, Dwipa = pulau) karena didukung oleh kondisi alamnya. Secara geografis, tidak semua wilayah di Indonesia dapat ditanami padi. Juga, jika menengok wilayah timur Indonesia, menanam padi bukanlah bagian dari kultur pertanian masyarakat setempat. Sentra-sentra beras baru di wilayah tersebut bermunculan setelah program transmigrasi petani dari Pulau Jawa ke sana.

Melihat jumlah produksi bahan makanan pokok secara keseluruhan (beras, singkong, ubi jalar dan jagung), tanpa menyinggung faktor daya beli masyarakat, tidak semestinya terjadi kekurangan pangan di Indonesia. Yang ada mungkin kekurangan beras. Sebagaimana fenomena yang sudah terjadi di banyak negara, yang diperlukan di Indonesia adalah diversifikasi pangan, dengan mengurangi ketergantungan pada beras dan mulai (kembali) menggunakan bahan lain sebagai makanan pokok. Ini tidak berarti bahwa kita harus 100% berubah menjadi pemakan jagung misalnya. Di Eropa yang secara tradisional adalah pemakan gandum, misalnya, seiring pembudidayaannya di benua Eropa, kentang pun mulai digunakan sebagai bagian dari makanan pokok. Selain itu, beras pun sudah mulai populer digunakan sebagai bagian pola makan mereka. Beras yang awalnya tidak dikenal di Amerika Serikat, sekarang mulai ditanam dengan produksi mencapai 1/5 produksi Indonesia. Nasi goreng (fried rice) dan risotto (masakan Italia berbasiskan beras) telah menjadi makanan yang populer.

Selain produksi yang cukup melimpah, di pasar dalam negeri, harga singkong, ubi jalar (kecuali Cilembu yang memang eksklusif) dan jagung relatif lebih murah dibandingkan beras. Sayangnya, sejauh pengamatan saya, sangat sulit untuk menemukan model menu khas Indonesia yang menggunakan singkong, ubi jalar dan jagung sebagai makanan pokok. Tidak berarti tidak ada; mungkin karena kurang dijelajahi oleh pemerhati kuliner Indonesia (saya hanya mengenal bubur Manado, yang menggunakan jagung, atau Kapurung dari Makassar yang menggunakan sagu atau tepung singkong). Jika tidak ada, mungkin diperlukan penciptaan kultur makanan baru atau mengadaptasi kultur makanan bangsa lain. Di Timur Tengah misalnya, roti gandum biasa menemani menu semacam gulai atau sop. Di Indonesia, mungkin saat makan gulai, nasi bisa diganti dengan roti. Tetapi, alih-alih roti gandum, roti tersebut dibuat dari singkong. Roti berbahan dasar singkong adalah salah satu makanan penduduk negara-negara di Amerika Tengah dan Latin.

Seandainya juga banyak alternatif pemanfaatan singkong, ubi jalar, dan jagung yang dapat membuat ketiganya secara sosial "sepadan" dengan beras, semuanya tidak akan bermanfaat kalau konsep "belum makan kalau belum pakai nasi" masih tetap dipelihara. Sekali konsep ngawur ini hilang, jangankan singkong, ubi jalar atau jagung, talas yang banyak menggantung di pinggir jalan menuju Puncak tapi hanya sebatas digoreng sebagai cemilan pun bisa menjadi alternatif makanan pokok yang layak.

Sekedar gambaran, dengan irigasi yang baik dan pemanfaatan bibit unggul, produktivitas petani beras umumnya sekitar 6-8 ton beras/hektar. Dengan bibit unggul dan teknik pertanian yang tidak serumit padi, potensi produksi singkong bisa mencapai 40-60 ton/hektar, ubi jalar 25-35 ton/hektar, dan talas 30 ton/hektar. 

Dengan perhatian dari pemerintah yang minim saja, produksi singkong nasional melebihi 1/2 produksi beras. Tentunya jika perhatian yang sama juga diberikan kepada komoditas pangan selain beras diikuti dengan kampanye diversifikasi konsumsi pangan, swasembada dan ketahanan pangan bisa lebih mudah tercapai.

Saturday, December 6, 2008

Kantong plastik

Berapa kali kita pergi ke pasar atau supermarket untuk membeli kebutuhan sehari-hari? Mungkin satu atau dua kali seminggu. Sempatkah kita memperhatikan berapa banyak kantong plastik yang kita bawa pulang setiap kali kita belanja? Mungkin sulit untuk mengingatnya sekarang. Tapi kali lain pulang berbelanja, cobalah menghitung jumlah kantong plastik yang kita pakai untuk mengangkut barang belanjaan. Lalu, dengan sedikit berhitung, coba perkirakan berapa banyak kantong plastik yang dipakai selama setahun, hanya untuk memindahkan belanjaan dari pasar/supermarket/toko ke rumah.

Plastik adalah satu inovasi abad 20 yang awalnya begitu diagung-agungkan. Dengan plastik banyak benda dengan berbagai bentuk dapat dibuat dengan mudah dan murah. Plastik dapat dibuat menjadi mainan, casing (kotak pembungkus), kantong/tas, alat makan minum, dan lainnya. Ditengah popularitasnya, belakangan disadari plastik membawa masalah baru bagi manusia: sampah plastik.

Sejak dipakai, sampah plastik mulai menggunung. Rupanya alam tidak dapat secara alamiah mengatasi sampah plastik. Sampah plastik, yang dikategorikan sampah non-organik, tidak bisa diuraikan oleh alam menjadi bahan organik dengan mudah, atau tidak dapat didaur ulang (recycle) dengan cepat. Menurut penelitian, dibutuhkan waktu 200-400 tahun untuk melakukan daur ulang sampah plastik secara alamiah. Artinya, plastik yang saya buang hari ini akan tetap menjadi plastik sampai anak anaknya anaknya anaknya .... anak saya (dengan tambahan 10-20 anaknya pada ....). Artinya, jika tidak dilakukan apa-apa, setelah 200 tahun, keturunan saya tersebut akan hidup ditengah lautan plastik.

Plastik juga tidak boleh dibakar secara bebas (sebagaimana sering terlihat di tempat-tempat pembuangan sampah akhir). Akibat pembakaran, plastik akan melepaskan zat kimia beracun ke udara.

Berdasarkan pengamatan saya, sampah plastik dari rumah tangga sebagian besar adalah dalam bentuk kantong plastik. Hampir setiap hari satu rumah tangga menjadikan kantong plastik sebagai sampah.

Dulu, saat kantong plastik belum dikenal, bahan kebutuhan rumah tangga dikemas dalam daun pembungkus (pisang, jati, dan lainnya) atau kertas, lalu dibawa pulang menggunakan tas belanjaan/jinjing. Tas ini akan terus dipakai jika tidak rusak. Nenek saya misalnya, sejak saya SD sampai kuliah selalu terlihat menjinjing tas belanja berwarna merah yang sama setiap belanja ke pasar. Kebiasaan ini sekarang mulai pudar. Apalagi dengan keberadaan supermarket yang menyediakan kantong plastik berukuran besar. Pergi berbelanja seolah menjadi lebih praktis karena tidak perlu menjinjing tas belanja dari rumah. Tetapi, dibalik kepraktisan tersebut, tanpa disadari, kita membuat kinerja alam menjadi tidak praktis lagi. Sampah plastik menumpuk! Bukan hanya dari plastik pembungkus barang yang kita beli, tapi juga kantong plastik.

Sewaktu saya belanja untuk pertama kali di Belanda, tahun 1999, seorang teman memberi saya 1 kantong plastik besar yang sudah lusuh, yang mirip kantong plastik Matahari. Setelah selesai membayar di kasir supermarket Konmar, sang kasir tidak memasukkan barang belanjaan saya ke kantong plastik. Supermarket tersebut rupanya tidak menyediakan kantong plastik gratis. Satu kantong plastik dapat diperoleh dengan membayar 25 cent gulden (saat itu Rp. 800). Daripada membayar, orang kemudian menggunakan plastik yang dibawa dari rumah atau dus bekas untuk mengangkut barang belanjaannya.

Idenya bukan untuk menarik keuntungan dari setiap penjualan kantong plastik, tetapi mengurangi sampah plastik. Belakangan, setiap belanja saya selalu membawa tas ransel agak besar, ditambah dengan beberapa kantong plastik cadangan jika ruang dalam tas ransel tidak mencukupi, atau ada barang belanjaan yang harus dilindungi dengan plastik, seperti daging. Saat ini, setiap belanja saya selalu ditemani dengan satu tas belanja yang dilengkapi dengan roda. Tas ini, tepatnya trolley, dapat diisi dengan sekarung beras ukuran 8 kg ditambah berbagai barang belanjaan lainnya. Harganya disini sekitar CAD$ 19 (Rp. 160.000); mungkin jika ada produsen Indonesia yang berpikir untuk membuatnya, harganya bisa jauh lebih murah.


Troley belanja

Poin dari saya bukanlah agar setiap orang membeli tas belanja semacam gambar diatas ini. Di saat kita selalu mengeluh terhadap pengelolaan sampah yang belum memuaskan (seperti kasus di Bandung tahun lalu), sebenarnya banyak cara sepele yang bisa kita lakukan untuk membantu mengurangi permasalahan sampah. Salah satunya, siap mengatakan "tidak perlu" jika ditawari kantong plastik oleh setiap penjual.

Simpanlah beberapa tas plastik yang bagus dan kuat sisa belanja sebelumnya. Kalau perlu, sisipkan satu kantong plastik di dalam tas yang selalu dipakai dalam aktifitas keseharian: ke kantor, kuliah, sekolah, dan lainnya. Saat memerlukan kantong plastik, anda tinggal menggunakannya. Gunakan terus kantong yang sama berkali-kali sampai anda tidak bisa lagi menggunakannya karena talinya telah putus, misalnya, atau kantongnya sobek. Kantong terlihat lusuh saat digunakan? Tentunya, kita harus lebih peduli dengan alam, yang harus kita wariskan kepada anak cucu kita dalam keadaan baik, dibandingkan peduli dengan penampilan kita dengan kantong lusuh saat pulang belanja.

Thursday, December 4, 2008

N250 PTDI: bisakah bangkit lagi?

Saat Indodefence 2008 kemarin, ada berita menggembirakan. Lion Air, sebuah perusahaan penerbangan Indonesia milik swasta, mengumumkan pembelian 10 pesawat ATR 72-500 buatan Perancis/Italia, dan kemungkinan tambahan 10 pesawat serupa. Ini adalah ekspansi dan modernisasi kedua yang dilakukan Lion Air setelah sebelumnya menandatangi kontrak pembelian 178 pesawat Boeing 737-900ER. Bagi sebuah airline yang muda, didirikan tahun 1999, rencana ekspansi ini sangat menggemberikan. Pembelian kedua jenis pesawat ini sekaligus akan menggantikan seluruh pesawat tua mereka, termasuk Boeing 737-400 yang akan dipensiunkan paling lambat tahun 2011. Berarti, mulai tahun 2011, Lion Air akan menjadi airline dengan armada paling muda di Indonesia.

ATR 72-500


Pesawat ATR 72 tidak asing buat saya. Tahun 2003, saya duduk sebagai penumpang pesawat ini antara Helsinki dan Jyvaskyla, Finlandia, yang dioperasikan oleh Finnair. Tapi sebelumnya, saat masih menjadi mahasiswa tahun 1990an, ATR 72 selalu disebut dalam tugas perancangan pesawat karena merupakan pesaing kuat setiap pesawat baru berkapasitas sekitar 60-80 penumpang, termasuk N-250. Nah, ada yang tahu N-250?

N-250 (atau Nusantara 2 engines, 50 seats) adalah pesawat pertama yang dirancang dan dibangun oleh IPTN (sekarang PT Dirgantara Indonesia, PTDI). Sebelumnya, IPTN bekerja sama dengan CASA Spanyol untuk merancang dan membangun pesawat CN-235 (atau CASA-Nusantara 2 engines, 35 seats), pesawat yang dianggap sangat sukses. Tidak berarti bahwa yang merancangnya adalah 100 persen orang Indonesia, tetapi sebagian besar insinyur yang terlibat didalamnya adalah orang Indonesia, dibantu insinyur asing. Insinyur Indonesia dikelompokkan menjadi dua: mereka yang pernah terlibat dalam CN-235 dan insinyur muda yang bergabung dengan IPTN setelah selesainya perencanaan CN-235.

N-250 dianggap proyek yang ambisius oleh kalangan penerbangan di dunia, terutama karena IPTN (Indonesia) adalah pemain baru dalam industri pesawat terbang. IPTN sendiri baru didirikan tahun 1976 dengan nama Nurtanio, dan awalnya hanya membuat pesawat berdasarkan lisensi. CN-235 adalah pesawat pertama yang dirancang di IPTN (bersama CASA) dan melakukan terbang perdana tahun 1983. Mengikuti rencana strategis Menteri Habibie saat itu, setelah CN-235, IPTN memasuki tahapan ketiga dengan merancang sendiri pesawat baru yang sesuai dengan perkembangan teknologi mutakhir saat itu. Mulai dirancang pada tahun 1989, N-250 direncanakan menjadi pesawat tercanggih dikelasnya. Selain menggunakan digital cockpit, N-250 akan menggunakan sistem pengendalian digital fly-by-wire. Sistem ini secara penuh pertama kali digunakan pada pesawat tempur F-16 tahun 1974, dan pada pesawat sipil Airbus A-320 tahun 1984. Untuk pesawat komuter dengan mesin turboprop, N-250 dirancang untuk menjadi pesawat pertama yang menggunakannya.

N-250 IPTN

Tahun 1995, prototipe pertama N-250 (PA-1) melakukan penerbangan perdana selama 55 menit di sekitar Bandung. Sepanjang tahun 1996 sampai dengan awal 1998, N-250 menjalani total 665 jam uji terbang sebagai syarat untuk mendapatkan sertifikat laik terbang. Pada periode itu pula, prototipe kedua (PA-2) dan ketiga (PA-3) dibangun. PA-2 selesai dibangun tahun 1997 dan telah melakukan 200 jam uji terbang sebelum dihentikan karena krisis ekonomi tahun 1998. Penghentian ini sebenarnya lebih karena desakan IMF, dan bukan karena keinginan Presiden Soeharto. Akibat penghentian ini, pembuatan PA-3 terhenti dan program uji terbang pun secara keseluruhan dihentikan. Hasil akhirnya jelas, N-250 tidak bisa memperoleh sertifikat laik terbang dan tidak mungkin ditawarkan ke pasar karena tanpa sertifikat, tidak ada airline yang berani membeli.

Membandingkan N-250 dengan ATR 72-500 yang akan dioperasikan Lion Air, bukan saja banyak kemiripan dari segi bentuk luar, tapi juga dari performanya. Misalnya, kecepatan jelajah N-250-50 adalah 555 km/jam, sedangkan ATR 72-500 511 km/jam. Jarak maksimum yang dapat ditempuh N-250-50 adalah 2027 km, sedangkan ATR 72-500 1650 km. Dari segi kapasitas penumpang, N-250-50 memang lebih sedikit dibandingkan ATR 72 (62-74 penumpang). Namun demikian, turunan N-250-50, yakni N-250-100, dirancang dapat mengangkut 62-64 penumpang. N-250 juga direncanakan untuk dikembangkan menjadi N-270 yang berkapasitas 70-80 penumpang.

Melihat pertumbuhan penerbangan dalam negeri, sangat disayangkan jika PT Dirgantara Indonesia (PTDI), akhirnya tidak ikut banyak berkiprah. Produk pesawatnya (N-250 dan rencananya N-2130) tidak bisa dengan bangga ikut melayani rute-rute domestik sebagaimana target awalnya. Padahal, booming penerbangan dalam negeri justru sesuai dengan perkiraan IPTN sebelumnya (yang tidak diperkirakan, bahkan sempat ditidakmungkinkan, oleh ekonom Indonesia). Awalnya, N-250 diharapkan memasuki pasar di awal tahun 2000-an, dan N-2130, pesawat sekelas B-737 yang sekarang banyak dioperasikan airline baru, akan memasuki pasar menjelang 2010. Bahkan, kontrak pembelian pesawat baru airlines Indonesia tidak lagi menggunakan metode imbal-beli (offset) yang melibatkan PTDI sebagaimana 10-15 tahun lalu. (Dulu, saat TNI-AU membeli F-16, IPTN mendapatkan kontrak pembuatan komponen F-16 dari General Dynamics senilai 30% kontrak pembelian tersebut.)

Kondisi saat ini memang berbeda. Tidak ada lagi Presiden Soeharto yang mati-matian membesarkan IPTN. Presiden Habibie sudah tidak lagi terlibat dalam internal PTDI. Sejak penandatangan perjanjian dengan IMF, bantuan keuangan dari pemerintah kepada IPTN dihentikan, dan bantuan yang telah diberikan sebelumnya dianggap sebagai hutang. Dalam situasi yang serba sulit tersebut, PTDI merampingkan tenaga kerjanya. Dari sebelumnya 17.000 karyawan, yang sekarang tersisa tinggal 3.000 orang. Namun demikian, banyak tenaga ahli PTDI kemudian diserap oleh Airbus, Boeing, dan Embraer. PTDI rupanya tidak mati. Dengan kekuatan tersisa (yang menurut saya malah ideal), PTDI terlihat mulai berjalan ke arah kemandirian.

Tahun 2008 ini, PTDI mendapatkan dari Merpati pesanan 10 pesawat C212-400, rancangan CASA. EADS (European Aeronautics Defence and Space), induk CASA, memutuskan bahwa mulai tahun 2007 seluruh pembuatan C212-400 dialihkan dari Spanyol ke PTDI, menjadikan PTDI satu-satunya pembuat pesawat ini. PTDI juga mendapatkan beberapa pesanan CN-235, termasuk dari TNI AU, dan berbagai jenis helikopter. Mulai tahun ini pula, PTDI akan menjadi bagian sistem produksi helikopter Super Puma Mk. II rancangan Eurocopter dan mendapatkan kontrak pembuatan komponen super jumbo Airbus A380.

Saya masih berharap kelak N-250 terbang melintasi setiap sudut nusantara, menyatukan Indonesia, dan menunjukkan kepada dunia kebanggaan bangsa Indonesia atas hasil karya anak bangsanya.

Wednesday, December 3, 2008

Kopi Indonesia dan Starbucks




Satu ciri yang menjadi fenomena di Amerika Utara adalah kedai kopi Starbucks. Sangat mudah menemukan kedai ini di setiap sudut kota besar. Sering terlihat orang mengantri untuk sekedar membeli segelas (bukan cangkir) kopi Starbucks. Sebagai penikmat kopi, saya beberapa kali mencicipi kopi ini, terutama sebelum isteri datang menyusul. Pendapat saya, selain harganya yang mahal, tidak ada yang istimewa. Rasanya, maaf, tidak sesuai selera penikmat kopi. Sayang juga mengeluarkan uang CAD$ 1.65 (sebelum pajak) hanya untuk segelas kopi yang kurang enak.

Saya sebelumnya terbiasa dengan Douwe Egbert atau Jacobs, kopi dalam kemasan terlaris di Belanda dan Jerman, lalu menyeduh sendiri. Saat di Jerman, saya sempat membeli kopi yang digiling segar di retailer Tchibo (wanginya luar biasa). Dibandingkan merek ini, kopi Starbucks tidak sebanding. Beberapa rekan yang biasa membeli Starbucks juga mengatakan hal yang sama. Masalahnya, kadang sulit menemukan pilihan kedai kopi selain Starbucks. Dibandingkan pesaingnya seperti Blenz dan Tim Hortons, Starbucks memang dimana-mana. Suatu hari, satu kedai Starbucks di toko buku kampus menawarkan pilihan kopi Sumatera. Lagi-lagi, rasanya tidak sebanding dengan kopi Lampung asli, yang biasa dijual dalam blek kaleng. Barangkali, masalah rasa ini pula yang menyebabkan Starbuck tidak terlalu populer di Belanda dan Jerman, yang terkenal sebagai "peminum kopi berat". Orang sana lebih suka mengopi di kedai-kedai lokal, atau menyeduh kopi sendiri.


Starbucks rupanya mulai merambah pasar Indonesia. Saya belum pernah mencoba membeli kopi Starbucks di Indonesia (saya pikir untuk apa, masih ada kopi lokal yang rasanya di"pikasono" (dikangeni): Kapal Api). Iseng-iseng menggugel, saya dapati konon harga secangkir kopi Starbucks paling murah adalah Rp. 17.500 (sepertinya sebelum pajak). Buka kalkulator, angka ini setara dengan CAD$ 2,00. Masya Allah!

Kenapa?
  1. Harga ini 35 cent (Rp. 2800) lebih mahal dibandingkan secangkir Starbucks yang paling murah di Vancouver
  2. Biji kopi Starbucks didatangkan dari berbagai belahan dunia termasuk Indonesia. Sungguh menyesakkan jika harga secangkir kopi Indonesia di Indonesia lebih mahal dibandingkan di luar Indonesia.
  3. Dengan harga eceran 35 cent lebih murah, upah pegawai kedai Starbucks di Vancouver bisa mencapai CAD$ 8/jam. Di Indonesia, mungkin mereka cuma diupahi CAD$8/hari. Aneh khan?

Jika sebagian masyarakat Indonesia menganggap Starbucks adalah bagian dari gaya hidup kelas tinggi, kenyataannya di luar tidaklah demikian. Starbucks disini hanyalah tempat untuk membeli kopi dengan cepat, dan bukan cerminan gaya hidup itu sendiri. Starbucks adalah praktis. Orang akan lebih menikmati kopi di kedai-kedai lokal atau restoran yang menawarkan kopi dengan kualitas yang lebih baik, dengan harga yang lebih tinggi dibandingkan Starbucks.

Awalnya, Starbucks yang dirintis di Seattle, Washington, tahun 1971, hanya sebatas menjual biji kopi dan mesin pembuat kopi (brewer). Tahun 1980an, pemilik baru Starbucks memutuskan untuk membuat budaya baru: coffee-to-go, dan terbilang sukses. Pengalaman saya, kopi di Amerika secara umum tidak enak dan sangat encer. Seorang teman Belanda mengatakan, kopi di Amerika itu seperti air dicampur pewarna hitam. Starbucks memang menawarkan kopi yang lebih baik dari umumnya kopi Amerika. Uniknya, seorang teman asal Philadelphia yang berkunjung ke Berlin menolak ditawari Starbucks saat menjelang coffee break. Dia bilang, "tidak enak dan ada yang lebih enak." Rupanya dia pergi ke Blenz Coffee yang tidak terlalu jauh dari Starbucks.

Di Amerika, 600an kedai Starbucks rencananya akan ditutup karena kinerjanya tidak memuaskan. Rencana penutupan ini disambut dengan positif oleh banyak penikmat kopi karena keberadaan Starbucks sering mematikan kedai kopi lokal. Biasanya, Starbucks membuka beberapa kedai secara keroyokan di dekat kedai kopi lokal yang laris. Karena kebanyakan kedai lokal memiliki modal yang terbatas, banyak yang akhirnya tutup karena kalah bersaing.

Bulan Oktober 2008, harga kopi dunia sempat anjlok sampai pada kisaran 60-70 cent Amerika per pound (atau Rp. 10800-12600/kg). Saya tidak ingat berapa puluh cangkir kopi bisa saya buat dari 1 kg kopi giling segar Tchibo. Hanya saja, kalau dibandingkan harga termurah Starbucks, terlihat betapa petani kopi hanya mendapatkan porsi yang sedikit dari harga jual kopi seduh yang tinggi. Tidak heran banyak petani kopi yang miskin.

Ada beberapa fakta tentang kopi Indonesia:
  1. Kopi pertama kali ditanam oleh VOC di Priangan tahun 1699. Tahun 1711 menandai ekspor perdana kopi Jawa ke Belanda.
  2. Indonesia adalah penghasil kopi terbesar keempat di dunia, dengan perkiraan total produksi mencapai 2 juta ton di tahun 2008. 
  3. Menurut website Douwe Egbert, perusahaan kopi Belanda yang berdiri sejak tahun 1753: The Indonesian Islands produce 'The Heavyweights' of coffees, famous for their smoothness, pronounced deep-toned but gentle acidity, full body richness and lingering finishes with a touch of spice and earthiness enveloped in the complexity of the coffee. Considered by many as the world's finest, especially those who take a cloud of cream in their coffee.
  4. Kopi termahal di dunia adalah kopi Luwak, yang diekspor dari Indonesia oleh sebuah perusahaan yang berkantor di Australia. Harga ecerannya US$ 120 - US$600/pound (kira-kira 0.4 kg). Setelah masuk restoran atau cafe, harga per cangkirnya bisa mencapai US$ 50.

Dunia begitu menghargai kopi Indonesia. Semestinya orang Indonesia lebih menghargai kopinya sendiri dan menghargai mereka yang bekerja keras untuk membuat kopi terasa enak.

Tips minum kopi: jangan menambahkan gula atau krim/susu terlalu banyak ke dalam kopi. Kopi seperti ini, oleh orang Belanda, disebut sebagai "koffie verkeerd" (kopi ngaco). Idealnya, kopi diminum tanpa tambahan gula dan krim/susu.