Tuesday, December 23, 2008

Kebijakan pengembangan sains dan teknologi (1)

Pagi ini, David Gergen, seorang analis politik CNN menulis sebuah kolom yang sangat menarik: "Obama’s Science Team: Reshaping Our Long-Term Future". Gergen pernah menjadi staff pemerintahan Nixon, Ford, Reagan, dan kemudian menjadi penasehat Clinton. Saat ini, Gergen adalah seorang profesor di JFK School of Government, Harvard University.

Selama delapan tahun pemerintahan George W. Bush, sains dan teknologi telah dikebiri perkembangannya karena cara pandang pemerintah Bush yang konservatif yang dilatar belakangi faktor agama; Bush mengklaim dirinya seorang kristen evangelis. Evangelis selama ini memang menjadi basis utama pemilih Partai Republik. Bersama gereja dan kelompok lainnya yang menganut paham konservatif, tersebar sepanjang daerah yang dikenal sebagai "the Bible belt", mereka membentuk ideologi konservatif Amerika. Mereka sering mengklaim dirinya lebih kristen dari penganut kristen lainnya. Salah satu dampak dari ideologi mereka adalah penolakan fakta ilmiah jika bertentangan dengan pemahaman mereka terhadap Bible.

Bush dikenal menolak bukti ilmiah bahwa manusia berperan secara negative dalam kasus pemanasan global, dan pernah mengatakan "saya tidak percaya sains". Ketidakpercayaannya terhadap sains menjadi keluhan banyak peneliti di Amerika Serikat (AS) karena berdampak terhadap kebijakan pemerintah terhadap pengembangan sains nasional. Selama delapan tahun terakhir, pemerintah tidak menambah dana penelitian melalui NSF (National Science Foundation, semacam Dewan Riset Nasional). Banyak penelitian berorientasi masa depan juga tidak diperhatikan, termasuk misalnya dalam bidang stem cell. Meskipun pada akhirnya Bush mengakui manusia ikut bertanggung jawab dalam pemanasan global, tidak ada upaya nyata secara nasional yang menunjukkan keseriusannya mengurangi dampak aktivitas manusia terhadap iklim global. Mereka membatalkan keikutsertaan AS dalam Konvensi Kyoto dan tidak mendukung Konvensi Bali secara penuh. Gubernur Arnold Schwazernagger, seorang Republik, malah lebih berinisiatip untuk berperan dengan menerapkan undang-undang lokal yang bertolak belakang dengan aturan pemerintah federal. Secara umum, peneliti di lingkungan universitas dan lembaga penelitian milik negara mengeluh dengan pendekatan Bush terhadap sains.

Gubernur Alaska, Sarah Palin, berpijak pada cara pandang yang mirip dengan Bush. Ia sering dikatakan, misalnya, menolak teori evolusi dan berkeyakinan bahwa bumi diciptakan 5.000 tahun yang lalu, mengikuti penafsiran Genesis dalam Bible. Itu sebabnya banyak kalangan ilmuwan menaruh harapan pada Barack Obama. Dan sebagaimana janjinya selama kampanye, Obama benar-benar menyiapkan tim kepresidenan yang siap mengembalikan AS sebagai pemimpin dalam perkembangan sains dan teknologi.

Tentu saja, ilmu bukanlah sekedar untuk ilmu semata dan menjadi alat agar suatu negara terpandang karenanya. Yang diharapkan dari ilmu adalah terciptanya kehidupan yang lebih baik, beradab, bermartabat, dan berketuhanan. Seorang ilmuwan AS mengatakan bahwa menerima teori evolusi sebagai fakta tidak berarti menolak keberadaan tuhan.

****

Yang menarik bagi saya adalah bahwa di negara yang maju tapi sekaligus deregulatif sekalipun (AS dan Eropa, misalnya), pemerintah tetap menjadi motor penggerak pengembangan ilmu dan teknologi. Aktifitas penelitian yang selalu mengandung aspek biaya dan resiko yang tinggi tidak akan tumbuh sendiri dalam masyarakat tanpa dorongan aktif pemerintah. Keseriusan pemerintah diperlihatkan dengan penentuan kebijakan dan prioritas penelitian, yang dilakukan oleh pakar yang kompeten yang dipilih oleh presiden, dan langkah-langkah legislatif (di AS, senat memiliki komisi khusus bidang perdagangan, sains, dan perhubungan). Operasional pengembangan sains dan teknologi kemudian dilakukan oleh lembaga penelitian dan universitas, yang didukung oleh dana yang sangat besar dari pemerintah. Pemerintah tidak bisa bersikap "pasif" terhadap sains dan teknologi, dan membiarkan rakyatnya mengambil inisiatif tanpa dukungan nyata (bukan sekedar moral) dari pemerintah. Tanpa dukungan pemerintah, ilmuwan di AS telah merasakan bagaimana ilmu akhirnya tidak berkembang dan termanfaatkan sebagaimana mestinya dalam 8 tahun terakhir ini. Obama berkomitmen bahwa pengembangan sains dan teknologi akan menjadi bagian dari solusi mengatasi krisis finansial dan resesi.

Bagaimana dengan Indonesia?


Pemerintah Indonesia memang tidak berpandangan seperti Bush yang tidak percaya "scientific fact". Tapi, dalam pengamatan saya, pemerintah selama ini masih menganggap penelitian sebagai sebuah prioritas rendah. Meskipun ada kecenderungan "mendukung penelitian dalam negeri", dalam eksekusinya tidak terlihat peran yang serius dari pemerintah. 

Pertama, sampai RAPBN 2008, alokasi anggaran untuk penelitian masih minim. Baru pada tahun 2009, seiring dengan peningkatan anggaran pendidikan, anggaran penelitian akan meningkat secara signifikan menjadi sekitar Rp. 2,3 trilyun.

Kedua, penelitian bukan sekedar masalah anggaran, tetapi juga bagaimana pemerintah menempatkan penelitian dalam kerangka kebijakan nasional. Penelitian misalnya tidak boleh lagi dianaktirikan. Anggaran penelitian tahun 2009 hanyalah 0.23% dari Rp. 1000 trilyun RAPBN 2009. Jangan sampai pemerintah mengulang kebijakan masa lalu, dengan menjadikan anggaran penelitian bagian dari pengeluaran yang bisa dihemat di saat krisis. Dampak penghentian dana penelitian saat itu sangat dramatis. Banyak penelitian yang tengah berjalan menjadi terhenti. Banyak laboratorium yang selama itu aktif karena dana riset pemerintah pun akhirnya tutup. Tidak sedikit juga peneliti Indonesia yang akhirnya terpaksa berkarir di luar negeri. Padahal persentase dana penelitian dalam anggaran negara saat itu sangat kecil sekali (0.05%).

Ketiga, pemerintah juga harus memiliki cetak biru penelitian Indonesia untuk jangka waktu yang panjang, misalnya 5-10 tahun, yang bukan ditentukan oleh politikus semata tetapi oleh pelaku-pelaku penelitian di Indonesia. Cetak biru tersebut menyangkut bagaimana uang sebesar Rp. 2,3 trilyun/tahun tersebut akan dihabiskan secara efisien dan efektif.

Cetak biru tersebut harus menjelaskan dan merinci bidang-bidang penelitian yang menjadi prioritas utama dan/atau sekunder, yang ditentukan bukan semata karena melihat perkembangan di luar negeri, tetapi juga dengan mengukur kemampuan dan kebutuhan dalam negeri. Selain itu, cetak biru tersebut juga harus menjelaskan sasaran-sasaran hasil penelitian. Adalah keliru jika hasil penelitian hanyalah selalu berupa produk aplikatif (tangible), seperti mobil, padi tahan wereng, dll. Hasil penelitian juga harus mencakup produk yang intangible tapi strategis, seperti pengembangan ilmu-ilmu dasar (sains) yang menunjang pengembangan ilmu-ilmu terapan (yang diukur dengan publikasi tulisan ilmiah berskala internasional), regenerasi ilmuwan (yang diukur dengan peningkatan lulusan S2 dan S3 dalam negeri-bukan luar negeri-yang berkualitas peneliti), dan penguatan jaringan ilmiah yang tersebar merata di dalam negeri.

Jika 250 juta penduduk Indonesia dianggap sebagai modal dasar pembangunan, pengembangan, pemanfaatan, serta penghargaan atas daya pikir, cipta dan kreasi setiap insan akan membuat modal dasar tersebut dapat lebih terkapitalisasi.

No comments: