Wednesday, December 10, 2008

Makanan pokok selain beras?

Pada tahun 1985-1987, di masa Presiden Seoharto, Indonesia pernah mengalami masa swasembada beras. Karena keberhasilan tersebut, Indonesia melalui Presiden Soeharto menerima penghargaan dari FAO, organisasi pangan dan pertanian PBB. Keberhasilan tersebut sayangnya tidak bisa dipertahankan pada tahun 1988. Sejak tahun itu pula, Indonesia kembali mengimpor beras untuk menutupi kekurangan produksi beras dalam negeri. Secara umum, sejak tahun 1983, produksi beras dalam negeri menunjukkan tren yang positif, kecuali, misalnya, di saat krisis ekonomi. Tahun 2007, produksi beras dalam negeri mencapai 36 juta ton gabah kering giling (GKG), naik sekitar 40% dibandingkan produksi saat pertama kali swasembada tahun 1985. Indonesia sendiri secara global adalah negara penghasil beras ketiga terbesar di dunia. Namun dengan jumlah penduduk mencapai 234 juta di tahun 2008 (naik 40% dibandingkan jumlah penduduk tahun 1985), produksi beras dalam negeri tetap rawan. Tahun 2007, impor beras untuk memperkuat cadangan nasional mencapai 500 ribu ton.

Sebenarnya, bukan cuma soal beras Indonesia termasuk didalam ``negara penghasil utama pangan''. Merujuk pada data FAO tahun 2005, Indonesia merupakan penghasil singkong ketiga terbesar di dunia (19,4 juta ton), ubi jalar (sweet potato) keempat di dunia (1,8 juta ton) dan jagung ke delapan di dunia (12 juta ton). Seperti halnya beras, singkong, ubi jalar dan jagung juga memiliki potensi sebagai makanan pokok. Sejarahnya, di beberapa daerah di Indonesia, ubi jalar dan jagung pernah menjadi makanan pokok. Dulu, jagung, misalnya, adalah makanan pokok penduduk Madura dan sebagian penduduk Nusa Tenggara. Sayangnya, sejak pemasyarakatan beras sebagai makanan pokok nasional, jagung, ubi jalar dan singkong seolah terlupakan. Ketiganya sekarang hanya dianggap makanan sampingan dalam bentuk kue, pengganan, atau teman nasi. Bahkan oleh sebagian kalangan, ketiganya dijadikan tanda kemiskinan atau rawan pangan jika mulai digunakan sebagai makanan pokok.

Saat ini 60% beras nasional dihasilkan di Pulau Jawa. Pulau ini memang sejak dahulu kala dikenal sebagai pulau beras (Jawa = beras, Dwipa = pulau) karena didukung oleh kondisi alamnya. Secara geografis, tidak semua wilayah di Indonesia dapat ditanami padi. Juga, jika menengok wilayah timur Indonesia, menanam padi bukanlah bagian dari kultur pertanian masyarakat setempat. Sentra-sentra beras baru di wilayah tersebut bermunculan setelah program transmigrasi petani dari Pulau Jawa ke sana.

Melihat jumlah produksi bahan makanan pokok secara keseluruhan (beras, singkong, ubi jalar dan jagung), tanpa menyinggung faktor daya beli masyarakat, tidak semestinya terjadi kekurangan pangan di Indonesia. Yang ada mungkin kekurangan beras. Sebagaimana fenomena yang sudah terjadi di banyak negara, yang diperlukan di Indonesia adalah diversifikasi pangan, dengan mengurangi ketergantungan pada beras dan mulai (kembali) menggunakan bahan lain sebagai makanan pokok. Ini tidak berarti bahwa kita harus 100% berubah menjadi pemakan jagung misalnya. Di Eropa yang secara tradisional adalah pemakan gandum, misalnya, seiring pembudidayaannya di benua Eropa, kentang pun mulai digunakan sebagai bagian dari makanan pokok. Selain itu, beras pun sudah mulai populer digunakan sebagai bagian pola makan mereka. Beras yang awalnya tidak dikenal di Amerika Serikat, sekarang mulai ditanam dengan produksi mencapai 1/5 produksi Indonesia. Nasi goreng (fried rice) dan risotto (masakan Italia berbasiskan beras) telah menjadi makanan yang populer.

Selain produksi yang cukup melimpah, di pasar dalam negeri, harga singkong, ubi jalar (kecuali Cilembu yang memang eksklusif) dan jagung relatif lebih murah dibandingkan beras. Sayangnya, sejauh pengamatan saya, sangat sulit untuk menemukan model menu khas Indonesia yang menggunakan singkong, ubi jalar dan jagung sebagai makanan pokok. Tidak berarti tidak ada; mungkin karena kurang dijelajahi oleh pemerhati kuliner Indonesia (saya hanya mengenal bubur Manado, yang menggunakan jagung, atau Kapurung dari Makassar yang menggunakan sagu atau tepung singkong). Jika tidak ada, mungkin diperlukan penciptaan kultur makanan baru atau mengadaptasi kultur makanan bangsa lain. Di Timur Tengah misalnya, roti gandum biasa menemani menu semacam gulai atau sop. Di Indonesia, mungkin saat makan gulai, nasi bisa diganti dengan roti. Tetapi, alih-alih roti gandum, roti tersebut dibuat dari singkong. Roti berbahan dasar singkong adalah salah satu makanan penduduk negara-negara di Amerika Tengah dan Latin.

Seandainya juga banyak alternatif pemanfaatan singkong, ubi jalar, dan jagung yang dapat membuat ketiganya secara sosial "sepadan" dengan beras, semuanya tidak akan bermanfaat kalau konsep "belum makan kalau belum pakai nasi" masih tetap dipelihara. Sekali konsep ngawur ini hilang, jangankan singkong, ubi jalar atau jagung, talas yang banyak menggantung di pinggir jalan menuju Puncak tapi hanya sebatas digoreng sebagai cemilan pun bisa menjadi alternatif makanan pokok yang layak.

Sekedar gambaran, dengan irigasi yang baik dan pemanfaatan bibit unggul, produktivitas petani beras umumnya sekitar 6-8 ton beras/hektar. Dengan bibit unggul dan teknik pertanian yang tidak serumit padi, potensi produksi singkong bisa mencapai 40-60 ton/hektar, ubi jalar 25-35 ton/hektar, dan talas 30 ton/hektar. 

Dengan perhatian dari pemerintah yang minim saja, produksi singkong nasional melebihi 1/2 produksi beras. Tentunya jika perhatian yang sama juga diberikan kepada komoditas pangan selain beras diikuti dengan kampanye diversifikasi konsumsi pangan, swasembada dan ketahanan pangan bisa lebih mudah tercapai.

No comments: