Thursday, December 4, 2008

N250 PTDI: bisakah bangkit lagi?

Saat Indodefence 2008 kemarin, ada berita menggembirakan. Lion Air, sebuah perusahaan penerbangan Indonesia milik swasta, mengumumkan pembelian 10 pesawat ATR 72-500 buatan Perancis/Italia, dan kemungkinan tambahan 10 pesawat serupa. Ini adalah ekspansi dan modernisasi kedua yang dilakukan Lion Air setelah sebelumnya menandatangi kontrak pembelian 178 pesawat Boeing 737-900ER. Bagi sebuah airline yang muda, didirikan tahun 1999, rencana ekspansi ini sangat menggemberikan. Pembelian kedua jenis pesawat ini sekaligus akan menggantikan seluruh pesawat tua mereka, termasuk Boeing 737-400 yang akan dipensiunkan paling lambat tahun 2011. Berarti, mulai tahun 2011, Lion Air akan menjadi airline dengan armada paling muda di Indonesia.

ATR 72-500


Pesawat ATR 72 tidak asing buat saya. Tahun 2003, saya duduk sebagai penumpang pesawat ini antara Helsinki dan Jyvaskyla, Finlandia, yang dioperasikan oleh Finnair. Tapi sebelumnya, saat masih menjadi mahasiswa tahun 1990an, ATR 72 selalu disebut dalam tugas perancangan pesawat karena merupakan pesaing kuat setiap pesawat baru berkapasitas sekitar 60-80 penumpang, termasuk N-250. Nah, ada yang tahu N-250?

N-250 (atau Nusantara 2 engines, 50 seats) adalah pesawat pertama yang dirancang dan dibangun oleh IPTN (sekarang PT Dirgantara Indonesia, PTDI). Sebelumnya, IPTN bekerja sama dengan CASA Spanyol untuk merancang dan membangun pesawat CN-235 (atau CASA-Nusantara 2 engines, 35 seats), pesawat yang dianggap sangat sukses. Tidak berarti bahwa yang merancangnya adalah 100 persen orang Indonesia, tetapi sebagian besar insinyur yang terlibat didalamnya adalah orang Indonesia, dibantu insinyur asing. Insinyur Indonesia dikelompokkan menjadi dua: mereka yang pernah terlibat dalam CN-235 dan insinyur muda yang bergabung dengan IPTN setelah selesainya perencanaan CN-235.

N-250 dianggap proyek yang ambisius oleh kalangan penerbangan di dunia, terutama karena IPTN (Indonesia) adalah pemain baru dalam industri pesawat terbang. IPTN sendiri baru didirikan tahun 1976 dengan nama Nurtanio, dan awalnya hanya membuat pesawat berdasarkan lisensi. CN-235 adalah pesawat pertama yang dirancang di IPTN (bersama CASA) dan melakukan terbang perdana tahun 1983. Mengikuti rencana strategis Menteri Habibie saat itu, setelah CN-235, IPTN memasuki tahapan ketiga dengan merancang sendiri pesawat baru yang sesuai dengan perkembangan teknologi mutakhir saat itu. Mulai dirancang pada tahun 1989, N-250 direncanakan menjadi pesawat tercanggih dikelasnya. Selain menggunakan digital cockpit, N-250 akan menggunakan sistem pengendalian digital fly-by-wire. Sistem ini secara penuh pertama kali digunakan pada pesawat tempur F-16 tahun 1974, dan pada pesawat sipil Airbus A-320 tahun 1984. Untuk pesawat komuter dengan mesin turboprop, N-250 dirancang untuk menjadi pesawat pertama yang menggunakannya.

N-250 IPTN

Tahun 1995, prototipe pertama N-250 (PA-1) melakukan penerbangan perdana selama 55 menit di sekitar Bandung. Sepanjang tahun 1996 sampai dengan awal 1998, N-250 menjalani total 665 jam uji terbang sebagai syarat untuk mendapatkan sertifikat laik terbang. Pada periode itu pula, prototipe kedua (PA-2) dan ketiga (PA-3) dibangun. PA-2 selesai dibangun tahun 1997 dan telah melakukan 200 jam uji terbang sebelum dihentikan karena krisis ekonomi tahun 1998. Penghentian ini sebenarnya lebih karena desakan IMF, dan bukan karena keinginan Presiden Soeharto. Akibat penghentian ini, pembuatan PA-3 terhenti dan program uji terbang pun secara keseluruhan dihentikan. Hasil akhirnya jelas, N-250 tidak bisa memperoleh sertifikat laik terbang dan tidak mungkin ditawarkan ke pasar karena tanpa sertifikat, tidak ada airline yang berani membeli.

Membandingkan N-250 dengan ATR 72-500 yang akan dioperasikan Lion Air, bukan saja banyak kemiripan dari segi bentuk luar, tapi juga dari performanya. Misalnya, kecepatan jelajah N-250-50 adalah 555 km/jam, sedangkan ATR 72-500 511 km/jam. Jarak maksimum yang dapat ditempuh N-250-50 adalah 2027 km, sedangkan ATR 72-500 1650 km. Dari segi kapasitas penumpang, N-250-50 memang lebih sedikit dibandingkan ATR 72 (62-74 penumpang). Namun demikian, turunan N-250-50, yakni N-250-100, dirancang dapat mengangkut 62-64 penumpang. N-250 juga direncanakan untuk dikembangkan menjadi N-270 yang berkapasitas 70-80 penumpang.

Melihat pertumbuhan penerbangan dalam negeri, sangat disayangkan jika PT Dirgantara Indonesia (PTDI), akhirnya tidak ikut banyak berkiprah. Produk pesawatnya (N-250 dan rencananya N-2130) tidak bisa dengan bangga ikut melayani rute-rute domestik sebagaimana target awalnya. Padahal, booming penerbangan dalam negeri justru sesuai dengan perkiraan IPTN sebelumnya (yang tidak diperkirakan, bahkan sempat ditidakmungkinkan, oleh ekonom Indonesia). Awalnya, N-250 diharapkan memasuki pasar di awal tahun 2000-an, dan N-2130, pesawat sekelas B-737 yang sekarang banyak dioperasikan airline baru, akan memasuki pasar menjelang 2010. Bahkan, kontrak pembelian pesawat baru airlines Indonesia tidak lagi menggunakan metode imbal-beli (offset) yang melibatkan PTDI sebagaimana 10-15 tahun lalu. (Dulu, saat TNI-AU membeli F-16, IPTN mendapatkan kontrak pembuatan komponen F-16 dari General Dynamics senilai 30% kontrak pembelian tersebut.)

Kondisi saat ini memang berbeda. Tidak ada lagi Presiden Soeharto yang mati-matian membesarkan IPTN. Presiden Habibie sudah tidak lagi terlibat dalam internal PTDI. Sejak penandatangan perjanjian dengan IMF, bantuan keuangan dari pemerintah kepada IPTN dihentikan, dan bantuan yang telah diberikan sebelumnya dianggap sebagai hutang. Dalam situasi yang serba sulit tersebut, PTDI merampingkan tenaga kerjanya. Dari sebelumnya 17.000 karyawan, yang sekarang tersisa tinggal 3.000 orang. Namun demikian, banyak tenaga ahli PTDI kemudian diserap oleh Airbus, Boeing, dan Embraer. PTDI rupanya tidak mati. Dengan kekuatan tersisa (yang menurut saya malah ideal), PTDI terlihat mulai berjalan ke arah kemandirian.

Tahun 2008 ini, PTDI mendapatkan dari Merpati pesanan 10 pesawat C212-400, rancangan CASA. EADS (European Aeronautics Defence and Space), induk CASA, memutuskan bahwa mulai tahun 2007 seluruh pembuatan C212-400 dialihkan dari Spanyol ke PTDI, menjadikan PTDI satu-satunya pembuat pesawat ini. PTDI juga mendapatkan beberapa pesanan CN-235, termasuk dari TNI AU, dan berbagai jenis helikopter. Mulai tahun ini pula, PTDI akan menjadi bagian sistem produksi helikopter Super Puma Mk. II rancangan Eurocopter dan mendapatkan kontrak pembuatan komponen super jumbo Airbus A380.

Saya masih berharap kelak N-250 terbang melintasi setiap sudut nusantara, menyatukan Indonesia, dan menunjukkan kepada dunia kebanggaan bangsa Indonesia atas hasil karya anak bangsanya.

No comments: